PERAHU YANG MENYELAMATKAN
“MITSLUKA WAMITSLU AL-A’IMMATI MIN WALADIKA BA’DI MITSLU SAFIINATI NUUHIN. MAN ROKIBAHA NAJA
WA MAN TAKHOLLAQO ‘ANHA GHORIQO”.
Artinya: Kamu (Ali Bin Abi Thalib) dan para Imam dari anak keturunanmu
sesudahku yang silsilahnya dengan cara gilir gumanti tidak pernah putus sama sekali
sampai kiamat nanti (kullu ma ghoba
najmun thala’a najmun ila yaumil qiyamah). Ibarat perahu (Nabi) Nuh, siapa yang
naik akan selamat dan siapa yang menolak akan tenggelam. Dan kini, zaman di munculkannya Al-Mahdi.
Perahu itu sangat luar biasa besarnya mampu memuat hamba yang di kehendaki
hingga ke seluruh pelosok dunia. Perahu itu tidak lain adalah Jama’ah
Lil-Muqorrabien, tempat bersatu
padunya rasa hati. Bagi hamba yang jihadunnafsinya rela mempersiapkan diri
dengan ilmu dan laku dengan Tuhan Sendiri yang senantiasa memadangi hingga di
tarik fadhol dan rahmat-Nya menjadi hamba yang di dekatkan kepada Diri-Nya. (Guru
Washitah)
JARAN NAFAS ANGIN
Jaran (Kuda) yang satu ini adalah lambang nafsu yang tidak lain wujudnya jiwa
raga yang telah dengan rela dan patuh di kendalikan untuk mencapai tujuan dan
cita-cita. Dengan angin yang tiap kali masuk (nafas) dalam dada di barengi
dengan ingatnya rasa hati pada Al-Ghaib-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya yang telah di terima dari izinnya Guru yang hak menjadi Al-Hadi. Maka menjadilah Daya dan Kekuatan Illahi Sendiri, sehingga sebagai
nafsu telah sama sekali tidak berani ngaku. Dengan lapak (alas tempat duduk)
syahadat tarekat, syahadat yang mendudukkan hamba menyaksikan Ada dan Wujud
Tuhan-Nya Dzat Yang Al-Ghaib yang senantiasa di ingat-ingatnya. Syahadat (yang
kedua) yang mendudukkan hamba menyaksikan Nur Muhammad-Nya yang selalu di
hayati dalam rasa hati. Dengan songgo wedhi
(tempat mancatnya kaki),
shodakoh jariyah. Dengan begitu maka si pengendara yang tak lain adalah hati
nurani, roh dan rasa menjadi nyata dengan Cahaya
Diri-Nya. (Guru Washitah)
TAUHID YANG DIMISALKAN SAMUDERA
Tauhid yang menunjuk pada keberadaan
satu-satu-Nya Dzat yang mesti Al-Ghaib, nyata-nyata Mutlak Wujud-Nya.
Karena tidak ada pada bacaan dan
juga tidak ada pada tulisan, untuk mengenal dan mengetahui ilmu-Nya harus
dengan mencari hamba yang di tugasi menunjuki (Al-Hadi). Meskipun antaramu dan
hamba yang di tugaskan Illahi
harus dengan menyeberangi lautan api. Semua makhluk (termasuk manusia) dengan
keberadaan Diri Illahi adalah
bagaikan ikan dalam samudera
yang selalu meliputi. Oleh karena itu amat sangat dekat sekali, yang bernafas pun tidak, kalaulah tidak dengan-Nya. apalagi
hingga berdaya dan bertenaga. Oleh
karena itu apabila mata hati ini buta tidak mengetahui keberadaan-Nya Dzat Yang Al-Ghaib ini saat mati juga
buta, di akhirat lebih buta dan lebih sesat yang sejauh-jauhnya. (Guru Washitah)
0 komentar:
Posting Komentar